Being Loser and Get Winning

Ketika kita jatuh terpuruk, terkadang kita sibuk menyalahkan orang lain dan sekeliling kita sebagai penyebab keterpurukan kita. Kebiasaan di masa kecil ketika kita jatuh dan yang dipersalahkan orang tua sebagai penyebab kita jatuh adalah si lantai, si tembok ataupun benda lain di sekitar kita. Akan lebih bijak jika kita jatuh dan di encourage dengan perkataan seperti “Laen kali harusnya kamu lebih hati-hati.” atau “Kamu kurang hati-hati sih jadi jatuh deh.” Mengajarkan Anak untuk bertanggung jawab pada dirinya sendiri dan konsekuensi dari segala tindakan yang dia lakukan. Tidak semua orang bisa melakukan ini dan tidak semua orang tua sebijak ini.

Kuliah di psikologi dan hasil didikan orang tua yang selalu menekankan sebab-akibat dari setiap tindakan yang saya lakukan akhirnya membentuk pola pikir saya bahwa, ada kalanya orang lain berbuat salah pada saya tapi pasti ada porsi kecil kesalahan saya juga. Namun, at the end saya menyadari pola pikir seperti ini juga tidak sepenuhnya benar, karena seringkali menimbulkan kecenderungan kita jadi sibuk menyalahkan diri sendiri atas keterpurukan yang kita alami padahal belum tentu itu sepenuhnya salah kita.

Sebuah voice note di pagi hari dari salah satu tokoh pengembangan diri yang baru saya dengar lagi, menceritakan bahwa ketika kita jatuh, menerima perlakuan buruk dari orang lain, ubahlah mindset kita bahwa kita bukan loser. Tidak perlu sibuk balas dendam, tidak perlu sibuk menyusun strategi menjatuhkan dia juga, tapi fokus lah pada diri sendiri. Justru di masa keterpurukan itu kita bisa mendapatkan banyak wisdom, kita bisa belajar untuk membentuk diri menjadi lebih positif dan lebih baik lagi. Ketika kita sibuk memperbaiki diri maka kita tidak akan punya waktu memikirkan tentang balas dendam.

So, what do you choose, being loser and doing revenge or being loser and get winning?

Percaya

Percaya saja bahwa hidupmu itu layak dijalani.

Percaya saja bahwa kau sudah lakukan yg terbaik.

Percaya saja kebaikan-kebaikanmu lah yang menuntun-mu untuk kehidupan yang lebih baik untukmu.

Percaya saja bahwa hidup bukan untuk disesali.

Percaya saja bahwa hidupmu adalah hal terindah yg pernah ada.

Jangan lelah, istirahatlah sejenak, buatlah sebanyak-banyaknya hal bermanfaat utk sesama.

Jadi, apalagikah yang bisa kita percayai untuk hidup yg lebih baik?

Adiksi

Sesuatu yang baru itu menimbulkan kecanduan. Manusia selalu mengingikan lebih terus dan lagi. Seperti halnya seorang pecandu yang diputus aksesnya begitupun halnya orang patah hati. Mereka membangun ekspektasi demi ekspektasi seperti orang kecanduan yang sulit berhenti. Lalu, apa jadinya ketika ekspektasi itu harus berhenti sebelum terealisasi? Atau ketika mereka harus berhenti membangun ekspektasi?

Well, saat ekspektasi terhenti itulah saat mereka merasakan seperti gejala orang putus “obat”. Ada rasa tidak nyaman yang harus mereka hadapi, ada rasa kehilangan yang menyiksa. Tapi semua itu harus dilewati. Semua itu adalah proses menuju ke kehidupan yang lebih baik. Mereka harus menerima dengan ikhlas semua rasa ga enak dan emosi negatif yang bermunculan. Seperti kata seorang teman, emosi saat jatuh dan putus cinta itu adalah emosi yang paling ganas. Gak bisa dibendung, Gak bisa ditahan, tapi harus dihadapi.

Semoga semua yang sedang merayakan cinta ataupun merelakan cinta segera sembuh dari adiksi menuju ke kehidupan yang lebih baik. Bersyukurlah pada setiap moment yang ada, karena bagaimanapun suatu kisah berakhir, selalu ada rasa terima kasih di dalamnya.

Let’s loving mindfully.

New

Kata orang yang baru-baru itu bikin excited. Rumah baru, HP baru, kerjaan baru. Tapi biasanya semuanya ga bertahan lama. Nanti yang baru itu akan jadi biasa lagi, dan akan ada keinginan untuk hal-hal baru laennya lagi.

Ada yang bilang hidup kita itu sebenernya adiksi terhadap kebaruan. Membuat kita selalu ingin dan ingin lagi tanpa pernah benar-benar menikmati apa yang sudah ada. Sebenernya ga salah kok menginginkan kebaruan bahkan di beberapa hal kita dituntut adaptif. Terkadang memang sesuatu itu harus menjadi baru karena beradaptasi dengan lingkungan.

Di tahun yang baru ini biasanya kita awali dengan harapan baru. Tentunya agar semua menjadi lebih baik. Jadi memang ga ada yang salah kok dengan kebaruan.

Thank You 2021

Thank you 2021 it’s been a pleasant and wonderful journey. Thank you for meeting me with great experiences, great people and great feelings. It’s not an easy one but it really a great one. 

2021 yang membuatku belajar bahwa hidup perlu diperjuangkan tapi tidak perlu dipaksakan. Bahwa orang baik itu masih ada. Bahwa hidup akan selalu mempertemukanmu dengan pilihan-pilihan Tapi tetep harus dipilih. Bahwa setiap pilihan ada konsekuensinya masing-masing.

Di mulai dari awal tahun ketika pertama kali ada circle yg kena covid, lalu aku sendiri yang kena covid sampe pada akhirnya pertengahan tahun covid menggila dan aku terlibat membantu beberapa kenalan yang terkena covid. It was so exhausting. Banyak yang lelah dengan tahun ini. Akupun merasa tahun 2021 ini penuh dengan a yak pelajaran berharga. Masalah yang datang dan pergi, teman-teman yang datang dan pergi. Semuanya itu ga bisa dihindari dan harus tetap dihadapi.

Perkenalan aku dengan sebuah komunitas di tahun ini seolah menjadi senjata ampuh untuk menghadapi ombak-ombak kehidupan. Masih jauh dari sempurna dan masih perlu terus belajar, namun buatku sudah cukup membantuku menjalani hidup dengan lebih bijaksana.

Tahun yang mempertemukanku dengan banyak mentor kehidupan baru. Tahun yang membuat aku bersyukur lahir di keluarga ini, punya kesempatan kuliah Psikologi, dan juga punya kesempatan mengenal Dharma. Hidup yg menurut aku baik-baik saja, ternyata aku ga sebaik itu. Aku pada akhirnya belajar menerima diri sendiri dan mensyukuri setiap detail kehidupanku. Mensyukuri setiap berkat yang diterima.

Terima kasih untuk semua yang pernah hadir. Terima kasih untuk perjuangan-perjuangan yang sudah dijalani. Terima kasih untuk setiap pencapaian dan kegagalan yang aku alami.

Selamat memasuki tahun yang baru. Semoga dengan segala kebaikan dan pemahaman di tahun 2021 dapat membawa tahu 2022 menjadi lebih bearti lagi bagi kita semua.

Change

Einstein bilang hal yang permanen dalam hidup adalah perubahan itu sendiri. Layaknya jalan Sudirman-Thamrin yang berubah menjadi lebih baik setelah melewati proses yang ga mudah. Seperti anak kecil yang menjadi lahir bersepeda setelah melewati latihan yang harus jatuh berkali-kali. 
Kemarin saya dihadapkan pada cerita dari dua teman saya. Sebagai anak yang besar di bagian Pusatnya Jakarta yang begitu mudah aksesnya kemana-mana, satu per satu tmn saya pindah ke daerah BSD dan sekitarnya. Kepindahan mereka ini ikut memboyong orang tua mereka. Seorang teman bercerita bahwa si bapak berkaca-kaca ketika rumahnya akan dijual. Betapa sentimentalnya hubungan si bapak dengan rumah yang mungkin dulu dia dapat kan dengan segenap upaya dan usahanya. 
Cerita kedua adalah tentang keresahan seorang ibu yang diajak anaknya pindah ke pinggiran Jakarta.

Ketakutan mereka akan transportasi dan pasar menjadi momok terbesar yang harus dihadapi. Ibu itu bercerita si anak sudah berhasil meyakinkan dari segi transport tp dia belum ketemu pasarnya. Sedangkan dulu rumah mereka tinggal selangkah sampe Pasar.

Sebuah perubahan besar yang harus mereka hadapi di usia yang tidak lagi muda. Dilema antara ketemu teman atau dekat dengan anak. Buatku sendiri tidak pernah terbayangkan mengajak papa mama pindah. Kalau pun pindah harus di daerah sekitar rumah yang sekarang. Bagi mereka yang pada akhirnya pindah mengikuti anaknya, sebuah perubahan harus mereka hadapi. Mereka harus belajar lagi untuk menjalani kehidupan yang berbeda dari sebelumnya. Ada penyesuaian-penyesuaian yang harus dilakukan terlepas apapun alasan mereka pindahnya.
So, have you met your change?

Mindfulness at Work

Salah satu bahasan dalam mindfulness at work adalah monotasking vs multitasking. Sejauh yang aku ingat perempuan itu dianggap master dalam multitasking. Pernah juga aku punya atasan yang menekankan bahwa sebagai perempuan, kita itu punya otak yang 2x lebih advance dr para lelaki yang memungkinkan kita bekerja banyak dalam waktu bersamaan. Satu hal yang saya pelajari adalah menerima banyak pekerjaan tapi mendelegasikannya ke orang lain, bukan untuk dikerjakan sendiri. Secara harafiah multitasking memang diartikan sebagai mengerjakan beberapa pekerjaan sekaligus. Namun sejatinya, otak kita bisa protes juga kalau terlalu banyak mengerjakan sesuatu dalam waktu bersamaan.

Terkadang kita ga sadar klo kerjaan itu datang bertubi-tubi menuntut semua harus selesai. Efeknya kadang kita lupa makan, lupa istirahat. Efek lainnya itu bisa aja ada hal yang kelewat untuk dilakuin. Dalam salah satu artikel yang pernah saya baca soal mindfulness at work, bekerja mindfully itu membantu kita untuk benar-benar hadir untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Kadang kala kita bisa menerima telepon sambil membalas email atau berpindah2 mengerjakan tugas dalam waktu bersamaan. Akhirnya kita ga benar2 menangkap arah pembicaraan si penelepon, kita juga mungkin membalas email dgn berantakan.

Minggu kemarin di kantor, aku menutupnya dengan pekerjaan yang super hetic karena dikejar waktu. Aku harus mengerjakan A dan B namun A nya ini beranak pinak. Di tengah-tengah ngerjain “anaknya” A aku harus kerjain “anaknya” yg lain. Di saat jeda pindah inilah aku manfaatkan untuk “sadar” dengan sebuah ritual. Aku mencatat progress dari pekerjaan yang di jeda itu. Lalu ketika sehabis terima telepon dengan pekerjaan baru atau update progress baru aku tarik nafas. It really works for me. Mengurangi efek panik plus membantu lebih fokus karena ada catatan.

Rasanya seneng banget pas pulang. Keluar pintu kantor tarik nafas lagi sambil lihat langit sebelum masuk mobil. Ritual ini mengingatkan untuk let it go apa yang uda dikerjakan di kantor jadi ketika di rumah aku bisa sepenuh hati di rumah tanpa mikirin kerjaan kantor. Begitu juga seharusnya ketika pagi mau mulai kerja, perlu ada ritual mengingatkan diri bahwa kita akan mulai kerja.

Jadi mindful at work itu adalah bekerja monotasking dan fokus pada satu hal sampai benar-benar selesai. Namun, pada prakteknya mungkin agak sulit karena kita berkoordinasi dengan banyak orang. Jadi kita perlu memberi ritual pada setiap jeda kalau mau pindah mengerjakan hal lain. Ritual inilah yang membuat kita kembali fokus dan ingat kalau ada yang masih harus dikerjakan.

Ada sebuah buku karangan Thich Nhat Hanh yang juga membahas tentang sadar penuh dalam dunia bisnis. Kurang lebih isi buku ini menekankan bahwa dengan sadar penuh kita akan memberi 100% waktu kita untuk bisa menuntaskan pekerjaan lebih cepat dan lebih bermakna. To be fully engage with our team, out work. Kind of an intersting book.

Let’s practice mindfulness at work.

Hometown Chachacha

Nonton Hometown Chachacha itu paket lengkap banget, kaya lagi ikut kuliah Psikologi Perkembangan. Selain ada banyak quotes, drama ini juga menggambarkan bagaimana kehidupan kita itu tidak lepas dari yang namanya masalah. Anak-anak, remaja, dewasa muda, dewasa tengah, dan lansia semua memiliki permasalahan sendiri dan tugas perkembangannya masing2.

  1. I-Jun yang menyimpan luka sebagai anak dari orang tua yg divorce. Meskipun sehari-hari dia tampil sebagai anak yang ceria bermain bersama Bora dan selalu menjadi juara kelas, tapi kebahagiaan terbesar baginya adalah ketika orang tuanya rujuk kembali.
  2. Ju-ri ABG labil yang jadi fandom idol Kpop dengan ayahnya yang single parents. Meskipun ia selalu tampak melawan ayahnya, tapi sebenarnya hal itu menyiksanya. Baginya ayahnya itu tetap Pahlawan yang utama, dalam segala kesulitannya, ayahnya adalah orang yang paling pertama mendukungnya.
  3. Papa-Mama Bora yang mewakili usia dewasa muda dengan permasalahan peran suami-istri merawat anak dan mencari nafkah. Di sini jelas dikisahkan kesulitan menjadi ibu yang terkadang diremehkan oleh para pria. Dalam salah satu adegan, Du-Shik marah dengan Papa Bora karena sudah membuat istrinya marah. menurutnya, untuk menjadi seorang ibu ada banyak hal yang ia korbankan.
  4. Hwa Joeng dan suaminya yang mewakili usia dewasa menengah akhirnya rujuk kembali setelah suaminya menyadari perasaannya. Suaminya membutuhkan waktu 15 tahun untuk menyadari perasaannya ke Hwa Joeng. Hwa Joeng pun ketika itu memilih bercerai karena dia merasa suaminya tidak punya perasaan dengannya. Kadang ada keputusan-keputusan yang kita ambil di masa muda bukan karena mau kita, tapi karena kemauan orang lain.
  5. Gam-ri yang mewakili usia dewasa akhir merasa content dengan hidupnya meski jauh dari anak dan akhirnya dapat meninggal dengan tenang. Ia juga yang menggambarkan dengan jelas bagaimana sahabat itu menjadi penghibur para lansia ketika anak mereka sudah hidup masing-masing bahkan ketika hidup berjauhan.

Terlepas dari cerita masing-masing yang mewakili usia perkembangan manusia, cerita ini juga menyimpan cerita kelam masa lalu Hong Du Shik. Du shik terkenal sebagai seorang serba bisa yang sangat cheerful dan ramah kepada seuluruh penduduk Gong Jin. Mana ada yang menyangka orang seceria itu punya luka yang begitu besar dan dalam. Luka yang belum benar-benar sembuh, tapi dia abaikan karena dia berusaha tampil baik-baik saja dihadapan semua orang. Bukan karena dia tidak mau mengobati lukanya, tapi dia tidak punya tempat untuk berbagi. Yoon Hye-Jin gadis kota yang datang dengan segala idealismenya. Dan drama ini meracik dengan cantik bagaimana mereka berdua sama-sama “membongkar” kopernya masing-masing. Perjalanan hidupnya di GongJin membuat Hye-Jin sadar bahwa hidup ini tidak melulu soal karir dan ketenaran tapi ada hal yang lebih penting dari itu. Kehadiran Hye-Jin pun membuat Du-Shik akhirnya berani membuka cerita masa lalunya.

Sayangnya drama ini harus ditutup dengan skandal Kim Shoen Ho aktor pemeran utama prianya. Terlepas dari apapun skandalnya, drama ini sudah dibuat dengan bagus banget. Film ini terasa begitu dekat dengan kehidupan nyata dan sangat psikologis sekali. Banyak yang bilang nonton drama ini seperti sedang healing. Banyak pesan-pesan terselip tentang bagaimana seharusnya seseorang memperlakukan emosi negatif dalam hidupnya. Drama yang mengajarkan bahwa, apapun masalah yang dihadapi, seseorang harus berani menghadapinya, meski kadang tidak langsung terselesaikan dan perlu menunggu, tapi make sure you finished it well.

Let’s be aware of our emotion and make sure you make peace with it.

Compassion

Di hari Kesehatan Mental Dunia ini rasanya cocok untuk membahas tentang profesi caregiver atau profesi pelayan masyarakat. Sejak Pandemi 1,5 tahun yang lalu orang-orang sibuk membahas efek dari PSBB yang mengharuskan semua orang di rumah. Perubahan pola hidup, cara kerja dan tuntutan adaptasi yang akhirnya menuntut orang untuk beradaptasi. Tidak sedikit yang akhirnya mengalami tekanan mental. Setahun berlalu sejak itu mulai banyak orang yang “melek” kesehatan mental. Banyak topik-topik webinar yang mulai membahas tentang kesehatan mental di masa pandemi dan banyak juga yang mulai mencari “sumber kebahagiaan” lain. Cukup senang dengan kenyataan ini karena selama ini ga banyak orang yang bisa diajak sharing tentang mental health.

Namun, dari semua topik itu jarang ada yang membahas tentang kesehatan mental bagi para pekerja yg melayani para pasien. Sebuah kenyataan yang menyentuh aku setelah mendengar salah satu live session di Instagram. Bahwa ada istilah yang namanya compassion fatigue yang rentan dialami para caregiver ataupun service professional lainnya. Compassion sendiri dapat diartikan sebagai Welas Asih, sebuah tindakan menempatkan diri di posisi orang lain dan menyelami perasaan yang mereka alami. Tidak jarang hal ini akan berdampak negatif bagi diri kita. Deraan pandemi yang berkepanjangan yang membuat para pekerja kesehatan ini terus menerus berhadapan dengan pasien tentunya dapat menyebabkan kelelahan fisik maupun mental. Kelelahan inilah yang juga dikenal sebagai compassion fatigue.

Sebuah kejadian di bulan Juni-Juli kemarin ketika angka covid meningkat tajam menyadarkan aku bahwa terlalu memberi perhatian lebih pada orang lain, merasa perlu membantu orang lain dapat menyebabkan kelelahan fisik ataupun emosional. Sebuah masa dimana sebenarnya aku butuh istirahat tapi masih merasa perlu membantu orang lain. Lalu waktu itu ada yang bilang sama aku, untuk bisa berbagi sama orang lain, gelas kita perlu terisi dulu. Apa yang mau di bagi kalau gelas kita aja kosong. Prinsip sederhana yang sangat menohok. Begitupula prinsip compassion, you need to full to be able to share.

Berkuliah di psikologi membuat aku cukup peka terhadap keadaan mental aku. Selama ini aku tau kapan harus beristirahat dan kapan energy aku cukup. Namun situasi pandemi di pertengahan tahun rupanya sudah diluar kapasitas aku. Even super hero still need another super hero. Jadilah aku melahap banyak bacaan dan video terkait self compassion ini. Kita tidak akan pernah mencapai pada titik self compassion sebelum kita melakukan self-care dan self-love. Bukan untuk menjadi pribadi yang egois dan narsis tapi untuk jadi pribadi yang kenal dengan dirinya sendiri. Yuk kita sayangi diri kita!

Happy World Mental Health Day!

Proses

Sejak dulu, bisa dibilang saya merupakan process oriented people, dimana saya lebih mengedepankan proses daripada hasil. Hasil memang penting, tapi kalau kita ga berusaha selama prosesnya maka kemungkinan untuk mendapatkan hasil yang baik akan lebih sulit. Buat sebagain orang lainnya hasil adalah hal yang utama, mereka terpaku pada hasil dan menjadi begitu kecewa ketika hasil yang dicapai tidak sesuai yang diharapkan.

Dulu saat pertama bekerja sebagai recruitment, saya pernah begitu kecewa ketika seringkali kandidat pilihan saya tidak berhasil diterima. Ada banyak sebab selain karena tidak cocok dengan user, ada pula yang kandidatnya sendiri yang mundur dari proses seleksi. Suatu hari saya dipanggil oleh atasan saya dan beliau bertanya bagaimana progress pencarian kandidat yang saya jalani. Waktu itu saya mikirnya saya pasti habis dimarahi si bapak, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Itulah kali pertama saya mendengar penjelasan kenapa proses itu juga penting meskipun tujuan akhir kita memanglah hasilnya. Kira-kira waktu itu Beliau bilang tujuan saya dan teman saya dalam satu tim memang sama tapi kita harus lihat juga bahwa tingkat kesulitan saya dan dia itu berbeda. Kebetulan waktu itu saya dapat bagian untuk merekrut di pabrik yang lokasinya cukup “ajaib” sedangkan si teman saya dapat bagian merekrut untuk kantor pusat di lokasi yang tidak “ajaib”. Usernya pun berbeda dari segi tuntutan dan lainnya. Itulah yang beliau lihat, bagaimana kami berusaha mengatasi kesulitan-kesulitan yang ada.

Itulah kenapa saya selalu berusaha melihat dan mendengar reason dari setiap kesalahan yang diperbuat orang lain. Bukan untuk mencari excuse tapi untuk melihat usaha apa yang sudah dia lakukan sebelum kesalahan itu terjadi. Lho emang ga takut kalo ternyata itu cuma sekedar escuse? At the end kita bisa lihat mana yang memang usaha mana yang sekedar excuse.

Mari berproses bersama menjalani pandemi yang belum selesai juga.